Sertifikat Halal, Pedang Bermata Dua Wisata Halal Indonesia


Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Muslim, maka secara general masyarakat telah berasumsi bahwa hampir seluruh makanan Indonesia sudah berlabelkan halal, kecuali jenis makanan yang bahan-bahannya ber-ingredients haram. Sehingga kita tidak perlu khawatir lagi makanan Indonesia sudah bersertifikat halal atau belum, mengingat di seluruh buku menu restoran Indonesia tercantum logo halal atau haram, jadi tidak akan salah pilih menu.

Akan tetapi, tak semua pengusaha makanan, dan restoran di kawasan Indonesia memiliki kesadaran akan pentingnya melakukan sertifikasi halal. Menuntut produsen untuk melakukan sertifikasi, dan mengedukasi agar konsumen kritis soal kehalalan seperti halnya ayam dan telur merupakan salah satu turning point dalam travel Muslim. Apabila fokus persoalan sudah terletak pada pengembangan pariwisata halal atau ramah Muslim, maka perspektif akan sedikit diubah. Menurut Ketua Indonesia Islamic Travel Communication Forum (IITCF) Priyadi Abadi, pilar utama wisata halal adalah makanan halal dan pemenuhan kewajiban salat, sehingga sertifikat halal memang menjadi faktor penting.

”Dalam wisata halal, sertifikat halal telah menjadi signifikansi utama karena sebagai justifikasi ketika para wisatawan berkunjung ke restoran untuk menanyakan halal tidaknya menu tersebut,” ungkap Priyadi dalam Rembuk Republika di Balairung Soesilo Soedarman Kementerian Pariwisata Jakarta.

Sertifikasi halal bukan Arabisasi, tapi adanya kebutuhan mendasar atas konsekuensi tuntutan dari konsumen atau wisatawan Muslim. Sebagai contoh, yakni negara-negara di ranah internasional yang minoritasnya adalah Muslim, kini sudah mulai banyak melakukan pergerakan menuju sertifikat halal. Dengan adanya hal tersebut, maka seharusnya seluruh restoran sebaiknya sadar untuk segera melakukan sertifikasi halal demi mencapai win-win solution. Terkait hal ini, Priyadi mencontohkan Taiwan. Meski belum seluruhnya halal, Taiwan sudah ramah akan hadirnya wisata Muslim baik di mal atau tempat umum yang memang tidak ada mushala, tapi pengelola berinovasi menyediakan area untuk shalat, sehingga terciptanya suatu kemaslahatan bersama. Belum lagi Thailand, Korea Selatan, dan Jepang yang melihat pasar Indonesia luar biasa. ”Lembaga sertifikasi halal Taiwan tidak main-main. Kalau melanggar, dendanya besar,” kata Priyadi yang juga Chief Executive Officer (CEO) Adinda Azzahra Tour and Travel.

Hal serupa juga disampaikan oleh Ketua Tim Pengembangan dan Percepatan Pariwisata Halal (TP3H) Kementerian Pariwisata, Riyanto Sofyan bahwa masih rendahnya tingkat kesadaran akan kompetensi wisata halal, prospek, dan pemahaman untuk memenuhi sertifikasi halal. Dengan adanya hal tersebut, infrastruktur sertifikasi masih sangat perlu ditingkatkan. Riyanto menambahkan, untuk menumbuhkan kesadaran itu memang tak mudah, harus dilakukan secara perlahan, serta fokus pada upaya bersama. Untuk merespon hal krusial ini, perlu adanya keterlibatan regulasi, komitmen dari pemerintah baik pusat maupun daerah sehingga wajib diimplementasikan di setiap restoran yang berdiri di tanah Indonesia. Sebagai salah satu destinasi wisata halal unggulan adalah Lombok yang berhasil karena tingginya komitmen gubernur, dan kerjasama seluruh pelaku usaha di daerah tersebut.

Saat TP3H berusaha mempromosikan Lombok untuk menjadi destinasi halal pada tahun 2015, banyak resistensi termasuk dari kalangan industri. Ini disebabkan karena adanya kekhawatiran apabila Lombok dicitrakan sebagai destinasi wisata halal, maka memicu wisata mancanegara yang berasal dari Australia dan Selandia Baru tidak mau berkunjung. ”Kami menginformasikan, kalau mau wisata konvensional itu tidak akan mampu melawan Kota Bali. Harus ada yang beda. Setelah branding wisata halal, pariwisata Lombok akan tumbuh semakin baik,” ungkap Riyanto. Hal ini didasarkan pada penilaian wisata halal di Global Muslim Travel Index (GMTI), bahwa jumlah sertifikat halal telah menjadi salah satu yang paling krusial mengingat target Indonesia adalah untuk menjadi destinasi wisata utama di antara Negara-Negara Kerja Sama Islam (OIC), mengalahkan Malaysia yang selama ini berada di posisi teratas.

Berkutat pada data LPPOM MUI, restoran yang sudah bersertifikat halal di Indonesia baru dilakukan oleh 543 restoran, termasuk restoran jaringan waralaba. Apabila ditotal secara keseluruhan, terdapat 2.000 restoran halal yang ada di Indonesia. Sementara kebutuhan di tahun 2017 saja mencapai 757 restoran dengan 27.583 gerai. Sedikit menengok Singapura, pada 2012 saja Singapura sudah memiliki sekitar 2.200 restoran bersertifikat halal, sedangkan Indonesia yang sebesar ini tidak sampai 50% yang bersertifikat halal. Sehingga dapat dikonklusikan bahwa rendahnya amenitas ramah Muslim di Indonesia ini,” kata Riyanto. Beberapa target yang dibuat pemerintah sendiri sudah cukup menantang tiap tahunnya. Selain restoran, target lain pada 2017 ini adalah 15 atraksi unggulan, 243 akomodasi ramah Muslim yang baru tercapai 101, biro perjalanan wisata di 561 lembaga yang baru tercapai 31 lembaga, 227 spa halal baru tercapai 18 spa, dan 10 kegiatan untuk menarik wisatawan Muslim. Sementara jumlah kunjungan wisatawan pada 2017 ini pemerintah menargetkan 3,1 juta wisatawan Muslim mancanegara, dan baru tercapai 2,7 juta wisatawan. “Sementara target wisatawan Muslim Nusantara sebanyak 231 juta orang tahun ini dan sudah tercapai 227 juta orang,” ujarnya.

Sertifikasi juga diperlukan untuk SDM yang terlibat dalam industri pariwisata halal. Sebab ini terkait dengan pembangunan, dan penguatan kapasitas. Dari statistik sertifikasi halal Indonesia di laman resmi LPPOM MUI, sepanjang tahun 2010 hingga tahun 2015 LPPOM MUI sudah menerbitkan 35.962 sertifikat halal, 309.115 sertifikat halal untuk produk, dan 33.905 sertifikat halal untuk perusahaan. Untuk produk, 51% atau 12.241 sertifikat halal untuk kelompok produk flavour, seasoning, adn fragrance, 12% atau 2.955 sertifikat halal untuk restoran, 6% atau 1.558 sertifikat halal untuk beverage and beverage ingredients, dan sisanya untuk tujuh kelompok produk lain termasuk makanan ringan dan kosmetik.

“Pada hakikatnya, kekuatan sekaligus kelemahan Indonesia itu terletak pada spektrum halal. Halal itu sensitif bagi orang Indonesia, sebagai contoh ketika menanyakan soal kehalalan menu-menu kepada pemilik restoran atau warung, justru konsumenlah yang seharusnya dilayani malah di judge bahwa kita mengatakan hal-hal yang dirasa menghina menu restorannya,” ungkap Menteri Pariwisata Arief Yahya yang mengundang anggukan sebagian hadirin di forum Rembuk Republik. Karena halal sudah jadi hal keseharian di Indonesia, maka banyak pelaku usaha yang tidak mau mengajukan sertifikasi halal karena merasa aneh apabila di kantin terdapat logo halal. Tapi itulah daya tarik bagi konsumen, terlebih bagi daerah-daerah di kawasan Aceh, Sumatera Barat, dan Nusa Tenggara Barat.

Setelah dilakukannya sertifikasi halal, maka sudah seharusnya berikhtiar untuk menarik para wisatawan Muslim mancanegara dengan terus melakukan promosi serta penjualan paket wisata halal, dan ramah Muslim. Karena itu, para pelaku industri wisata halal perlu untuk mempelajari marketing strategy yang bagus.

Sebagai salah satu sektor ekonomi unggulan, pariwisata nasional tengah menjadi tumpuan. Karena itu, Kementerian Pariwisata juga berupaya mendorong pembenahan di berbagai sudut daerah dengan mengacu pada sejumlah referensi internasional yang kredibel seperti GMTI, Halal Travel Indicator, Travel and Tourism Competitiveness Index. ”Kita gunakan standar global untuk mengenali dunia dan kemudian dijadikan introspeksi diri. Kenali dirimu dan musuhmu. Kalau mau perang, kenali musuh dulu baru diri, begitu kata Sun Tzu,” ungkap Arief.

Di wisata halal, Indonesia bersaing dengan Malaysia, dan UEA. Indonesia bertekad berada di atas dua negara tersebut dengan memperbaiki komponen dalam penilaian GMTI. Kepada hadirin yang sebagiannya merupakan pelaku industri wisata, Arief menekankan semua perbaikan harus terukur, dan memiliki parameter, tidak boleh subjektif.

“Sertifikasi, sertifikasi, dan sertifikasi. Saya paham kalau Anda tidak mau. Tapi ini wajib. Halal Travel Index bahkan spesifik menuliskan sertifikasi halal, dan esensinya,” kata Arief.

Dalam laporan tahunan terbaru yang dibuat oleh CrescentRating bersama MasterCard ini, posisi Indonesia meningkat dari peringkat empat pada tahun 2015 menjadi peringkat tiga pada tahun 2016 di bawah UAE dan Malaysia yang masih berada di puncak. Berkaitan dengan hal ini, terdapat 4 komponen kunci yang dianalisis yakni aksesibilitas, komunikasi, lingkungan, dan layanan. Dalam komponen aksesibilitas, Indonesia berada di peringkat ketujuh dengan skor 141,7 pada 2016. Di komponen komunikasi, Indonesia berada di urutan ke dua di bawah Malaysia dengan skor 142 pada 2016. Pada komponen lingkungan, Indonesia ada di peringkat ke-8 dengan skor 163 pada 2016. Sementara komponen layanan yang mencakup jaminan halal, pada 2016 Indonesia berada di peringkat lima dengan skor 333,4. Serta pada komponen layanan, pilihan restoran dan jaminan halal berada di poin pertama penilaian. Ada 130 negara yang dinilai dan diperingkat dalam GMTI 2017, baik negara anggota OIC maupun non-OIC. Di antara 10 besar negara OIC, Indonesia berhasil melangkahi Turki dan naik ke posisi tiga dengan skor 72,6 pada 2016 dari skor 70,6 pada 2015. GMTI memprediksi ada 121 juta wisatawan Muslim yang berwisata pada 2016. Jumlahnya akan meningkat menjadi 156 juta orang pada 2020.

Dari segi bisnis, wisata halal masih menyuguhkan peluang yang cukup besar. Hal ini berdasarkan pada dokumen State of Global Islamic Economy Report 2016-2017 yang mencatat bahwa angka belanja masyarakat Muslim dunia untuk wisata telah mencapai 151 miliar dolar AS, dan akan meningkat menjadi 243 miliar dolar AS di tahun 2021. Dari angka tersebut, negara-negara Kawasan Teluk (GCC) yang populasinya hanya 3% dari total Muslim dunia merupakan komunitas Muslim dengan belanja terbesar untuk wisata yakni 54,39 miliar dolar pada 2015 atau setara 36% dari total belanja komunitas Muslim dunia untuk wisata.

News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.