Pemilik Desa Restaurant Amsterdam Effendi Ali atau Ayun, Amsterdam, Belanda
REPUBLIKA.CO.ID — Sejumlah restoran Indonesia berjaya di negeri Belanda. Salah satunya adalah Desa Restaurant atau Desa Authentiek Indonesisch Restaurant yang terletak di Ceintuurban 103, perbatasan antara pusat dan selatan Amsterdam. “Sesuai dengan namanya, Resto Desa menyediakan kuliner khas dari berbagai daerah di Indonesia,” kata pemilik Desa Restaurant Effendi Ali saat ditemui Republika di restorannya, Amsterdam.
Effendi menyebutkan bahwa restorannya menyediakan aneka menu makanan dan minuman asli Indonesia. Misalnya rendang (Padang), sate (Betawi), gudeg (Yogyakarta), ayam rica-rica (Manado), dan gado-gado (Betawi). “Selain menu yang tertera dalam daftar tersebut, kami juga siap untuk memenuhi pesanan menu khusus khas Indonesia dari para pelanggan kami,” kata Affendi yang juga akrab dipanggil Ayun. Menurut Ayun, para pelanggannya tidak hanya orang-orang Indonesia. “Banyak sekali pelanggan kami yang merupakan orang Belanda asli, dan mereka menyatakan sangat senang menikmati masakan Indonesia yang ada di restoran kami,” tutur Ayun.
Effendi mengemukakan, masyarakat Belanda menyukai kuliner Indonesia, khususnya yang disajikan di Desa Restaurant. “Karena hubungan sejarah ataupun faktor lainnya, banyak orang Belanda yang menjadikan restoran Indonesia sebagai dapur kedua mereka,” ujar Ayun. Ayun menambahkan, Desa Restaurant menjadi salah satu tempat makan favorit bagi para turis Indonesia yang datang ke Amsterdam. “Hampir semua grup turis dari Indonesia yang berkunjung ke Amsterdam untuk memilih menyantap makan siang atau makan malam di Desa Restaurant,” ungkap Ayung.
Hal terebut dibenarkan oleh konsultan perjalanan wisata, khususnya wisata Muslim di Eropa Barat, Priyadi Abadi. “Desa Restaurant merupakan restoran favorit bagi para grup turis dari Indonesia untuk menikmati menu halal dengan cita rasa Indonesia asli. Apalagi di Eropa ini tidak semua restoran menyajikan makanan halal. Sedangkan bagi turis Muslim, makanan halal merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa dinegosiasikan lagi,” papar Priyadi Abadi.