Westermoskee Ayasofya Camii: Jejak Peradaban Islam di Jantung Amsterdam

Westermoskee Ayasofya Camii

ADINDA | Westermoskee Ayasofya Camii: Jejak Peradaban Islam di Jantung Amsterdam. Di tengah lanskap kota Amsterdam yang identik dengan kanal-kanal, bangunan klasik Eropa, dan budaya liberal, berdiri sebuah masjid megah yang menghadirkan nuansa berbeda. Kubah besar berwarna terang, dua menara ramping yang menjulang, serta ornamen khas Utsmaniyah menjadi penanda kehadiran Westermoskee Ayasofya Camii—sebuah masjid yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga simbol eksistensi, identitas, dan keberlanjutan Islam di Eropa Barat.

Masjid ini terletak di Piri Reïsplein 101, 1057 HB Amsterdam, tepat di tepi sungai Schinkel, kawasan De Baarsjes. Lokasinya yang strategis menjadikannya mudah diakses oleh warga lokal maupun wisatawan. Bagi pelancong Muslim, yang salah satunya adalah rombongan Adinda Azzahra Tour & Travel  yang dipimpin Priyadi Abadi, Westermoskee sering kali menjadi ruang persinggahan yang menenangkan—tempat untuk shalat, merenung, sekaligus memahami bagaimana Islam hidup dan tumbuh di tengah masyarakat Barat modern.

Westermoskee Ayasofya Camii

Perjalanan Panjang Komunitas Muslim Turki di Belanda

Gagasan pendirian Westermoskee Ayasofya Camii bukanlah proyek instan. Sejak 1980-an, komunitas Muslim Turki di Belanda telah merasakan kebutuhan akan sebuah masjid besar yang representatif. Masjid bukan hanya dipandang sebagai ruang ibadah, tetapi juga pusat pendidikan, budaya, dan konsolidasi sosial bagi generasi Muslim diaspora.

Inisiatif ini digerakkan oleh Milli Görüş, sebuah gerakan Islam yang didirikan pada 1969 oleh tokoh politik dan pemikir Islam Turki, Necmettin Erbakan. Gerakan ini dikenal memiliki visi kuat dalam menjaga identitas Islam di tengah dominasi sekularisme Barat, khususnya bagi komunitas Muslim yang hidup sebagai minoritas.

Melalui cabang Eropanya, IGMG (Islamische Gemeinschaft Millî Görüş), organisasi ini secara konsisten menggalang dukungan dana, membangun jejaring komunitas, serta berdialog dengan pemerintah setempat. Setelah melewati proses panjang perencanaan, perizinan, dan penggalangan dana, pembangunan fisik Westermoskee akhirnya dimulai pada 2013 dan rampung pada 2016.

Peresmian masjid dilakukan langsung oleh pimpinan IGMG, Kemal Ergün, dan sejak saat itu Westermoskee Ayasofya Camii resmi menjadi masjid terbesar di Belanda yang dikelola oleh komunitas Muslim Turki.

Pendanaan, Kolaborasi, dan Kepercayaan Publik

Proyek pembangunan masjid ini memakan biaya sekitar €15 juta, yang sebagian besar berasal dari donasi swadaya komunitas Muslim Turki di Belanda. Dana tersebut dikelola oleh IGMG melalui kampanye penggalangan dana yang dilakukan secara berkelanjutan sejak puluhan tahun sebelumnya.

Selain donasi komunitas, proyek ini juga mendapatkan dukungan dari pemerintah kota Amsterdam, serta kontribusi dari negara Turki, khususnya dalam aspek arsitektur dan simbol budaya. Kolaborasi ini menunjukkan bahwa pembangunan masjid megah di Eropa tidak selalu berjalan dalam ketegangan, tetapi juga bisa melalui jalur dialog, transparansi, dan kepercayaan publik.

Kini, Westermoskee berfungsi sebagai pusat spiritual bagi puluhan ribu anggota IGMG di Belanda, sekaligus ruang interaksi sosial yang terbuka bagi masyarakat luas.

Arsitektur Ottoman dalam Bingkai Eropa Modern

Salah satu daya tarik utama Westermoskee Ayasofya Camii terletak pada arsitekturnya. Masjid ini dirancang oleh arsitek asal Prancis, Marc dan Nada Breitman, yang dikenal piawai memadukan gaya klasik dengan pendekatan kontemporer.

Dari sisi eksterior, bangunan ini menampilkan kubah utama berdiameter sekitar 20 meter, dua menara setinggi kurang lebih 30 meter, serta fasad simetris berlapis marmer putih. Ornamen-ornamen tersebut secara jelas terinspirasi dari arsitektur Ottoman, khususnya Hagia Sophia di Istanbul, namun tetap disesuaikan dengan konteks urban Amsterdam.

Lokasinya di tepi kanal Schinkel memberikan nilai estetika tambahan. Pantulan bangunan di permukaan air menciptakan kesan tenang dan monumental, terutama saat matahari mulai condong ke barat.

Masuk ke dalam masjid, suasana spiritual langsung terasa. Ruang salat utama dirancang luas dan terbuka, dilapisi karpet merah tebal yang nyaman. Dinding-dindingnya dihiasi kaligrafi Arab berwarna emas, sementara lampu gantung kristal besar di tengah ruangan memancarkan cahaya lembut. Mihrabnya diukir dengan detail geometris yang rumit, mencerminkan kekayaan seni Islam klasik.

Masjid ini mampu menampung hingga 1.700 jamaah, dengan galeri terpisah untuk jamaah perempuan serta fasilitas pendukung seperti ruang belajar dan kegiatan komunitas.

Ayasofya Istanbul dan Ayasofya Amsterdam: Dua Konteks, Satu Spirit

Meski menyandang nama “Ayasofya”, Westermoskee tidak memiliki latar sejarah yang sama dengan Hagia Sophia di Istanbul. Ayasofya di Turki merupakan bangunan monumental yang mengalami berbagai fase sejarah—dari gereja Byzantium abad ke-6, menjadi masjid Utsmaniyah sejak 1453, hingga berbagai perubahan fungsi di era modern.

Sebaliknya, Westermoskee Ayasofya Camii sejak awal dibangun sebagai masjid murni. Tidak ada lapisan sejarah lintas agama seperti di Istanbul. Namun, kesamaan nama dan estetika menjadi simbol keterhubungan spiritual dan budaya antara dunia Islam klasik dan komunitas Muslim modern di Eropa.

Jadwal Salat dan Aktivitas Keagamaan

Dalam pelaksanaan ibadah, Westermoskee mengikuti metode perhitungan salat mazhab Syafi’i, dengan sudut Subuh 18° dan Isya 17°, sesuai standar yang banyak digunakan komunitas Muslim Eropa. Jadwal shalat disesuaikan dengan zona waktu Europe/Amsterdam (GMT+1).

Sebagai contoh, pada 28 November 2025, waktu salat tercatat sebagai berikut: Subuh pukul 06.20, Zuhur 12.29, Asar 14.14, Magrib 16.33, dan Isya 18.30, dengan iqamah sekitar 10 menit setelah azan. Informasi terbaru mengenai jadwal dan kegiatan dapat diakses melalui situs resmi pengelola masjid.

Selain salat lima waktu, masjid ini juga menjadi pusat kajian Islam, pendidikan anak, kegiatan sosial, serta perayaan hari-hari besar keagamaan.

Westermoskee dalam Perspektif Wisata Muslim

Bagi pelaku wisata Muslim, keberadaan Westermoskee Ayasofya Camii memiliki nilai tersendiri. Priyadi Abadi, tour leader wisata Muslim profesional sekaligus Direktur Utama Adinda Azzahra Tour & Travel, kerap menjadikan masjid ini sebagai salah satu titik penting dalam perjalanan wisata Muslim Eropa.

Menurut Priyadi, masjid seperti Westermoskee memberikan pengalaman yang utuh bagi jamaah. Tidak hanya memenuhi kebutuhan ibadah, tetapi juga membuka wawasan tentang bagaimana Islam hadir secara bermartabat di negara-negara Barat.

“Ketika jamaah salat di Westermoskee, mereka tidak hanya menjalankan kewajiban, tetapi juga menyaksikan langsung sejarah hidup Islam di Eropa. Ini pengalaman yang tidak tergantikan,” ujarnya dalam salah satu perjalanan wisata Muslim.

Pendekatan inilah yang membuat wisata Muslim tidak sekadar bersifat rekreatif, tetapi juga edukatif dan reflektif.

Simbol Identitas dan Dialog Peradaban

Lebih dari sekadar bangunan fisik, Westermoskee Ayasofya Camii adalah simbol dialog peradaban. Ia merepresentasikan upaya komunitas Muslim untuk tetap menjaga identitas keislaman, sekaligus hidup berdampingan secara damai di tengah masyarakat multikultural.

Keberadaannya menegaskan bahwa Islam di Eropa bukanlah fenomena sementara, melainkan bagian dari lanskap sosial yang terus berkembang. Westermoskee berdiri sebagai pengingat bahwa spiritualitas, sejarah, dan modernitas dapat bertemu dalam satu ruang—tenang, terbuka, dan penuh makna.

Di jantung Amsterdam, masjid ini bukan hanya tempat sujud, tetapi juga jembatan pemahaman antara Timur dan Barat, antara masa lalu dan masa depan.[]

 

News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.