Umrah Murah tak Selalu Jelek, Umrah Mahal tak Selalu Bagus


Fenomena tentang perlombaan perang tarif atau Umrah murah yang dilakukan oleh Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) belakangan ini dianggap cukup mengkhawatirkan. “Hal itu karena sangat berpotensi merugikan jamaah Umrah,” kata Kasubdit Pembinaan Umrah Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama M Arfi Hatim dalam talk show bertema “Fenomena Umrah Murah, Kualitas dan Risiko terhadap Jamaah” yang diadakan Indonesian Islamic Travel Communication Forum (IITCF) di Hotel Ibis Cawang, Jakarta (Ihramcoid, 2020).

Arfi mengemukakan bahwa pihak-pihak yang meragukan serta mengkhawatirkan Umrah murah beranggapan bahwa harga yang murah tidaklah rasional dan pasti dikarenakan ada sesuatu yang salah di dalamnya. Apakah itu motifnya (penipuan) atau caranya (memanipulasi). Hal ini, karena biaya untuk Umrah sudah berdasarkan pada standarisasi harga atau perhitungan yang konvensional. Sehingga komponen biaya perjalanan untuk ibadah Umrah tidak mungkin terpenuhi jika dengan harga yang ‘murah’. “Sederhananya, semakin murah harga suatu barang/jasa, maka semakin berkuranglah kualitas barang atau jasa tersebut. Disisi lain, fenomena Umrah murah juga memiliki nilai positif dimana ibadah Umrah menjadi lebih semakin terjangkau ke seluruh kalangan masyarakat sehingga akan terbuka lebarnya kesempatan bagi banyak masyarakat untuk dapat menunaikan ibadah Umrah. Salah satu hak konsumen adalah mendapatkan harga yang kompetitif dan ekonomis. “Maka kehadiran Umrah murah jelas memenuhi aspek ini artinya, semakin terjangkau harga suatu barang/jasa, maka semakin baik bagi masyarakat,” ujar Arfi.

Lalu mana yang benar? Benarkah konsumen terancam saat membayar murah? Apakah harga yang mahal identik dengan kualitas barang/jasa yang baik? Dan kenapa sampai saat ini pemerintah tidak menetapkan harga minimal?

Untuk menjawab pertanyaan yang bagus ini, menurut Arfi, Umrah murah tidak mesti identik dengan pelayanannya yang jelek. Sebaliknya, Umrah mahal tidak identik dengan pelayanannya yang baik. “Akan tetapi kembali pada logika umum bahwa semakin mahal suatu barang/jasa berarti semakin berkualitas bukanlah sebuah kebenaran yang pasti. Yang benar adalah barang/jasa menjadi bernilai karena sifatnya yang unik, tidak adanya kompetitor. “Ketika terdapat kompetitor maka otomatis akan terjadi kompetisi yang berujung pada penurunan harga.  Sehingga tanpa adanya kompetitor, barang/jasa yang ‘biasa saja’ akan dimanfaatkan oleh penyedia barang/jasa untuk menaikkan daya jual mereka, sebagaimana halnya monopoli, untuk mendapatkan keuntungan yang berlebih. “Celakanya, ini tidak selalu diimbangi dengan kualitas barang/jasa yang baik. Bahkan masyarakat menjadi tertutup peluangnya untuk mendapatkan harga yang murah,” papar Arfi.

Inilah, kata Arfi, yang menjadi alasan kenapa sampai saat ini pemerintah tidak mengeluarkan harga minimal. Karena perhatian utama pemerintah bukanlah nominal harga, tetapi kualitas.

“Berkaca pada kasus standardisasi harga tiket transportasi, yang sejatinya bertujuan untuk melindungi konsumen, namun yang terjadi adalah harga tidak turun sementara kualitas justru turun. Satu-satunya yang naik adalah keuntungan perusahaan yang menjual dengan mengurangi kualitas tanpa mengurangi biaya,” ujar Arfi Hatim.

News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.